PRANGG…
Adit menatap pot bunga yang telah hancur berkeping-keping itu dengan kaget. Ia sama sekali tidak berniat untuk menjatuhkannya, apalagi merusaknya. Ia hanya kaget dengan keberadaannya. Oleh karena itu, mungkin tangannya reflek mengambil pot bunga itu dan memecahkannya satu detik kemudian.
Bu Niken yang sedang mengawasi anak-anak muridnya bekerja di halaman belakang sekolah pun langsung menuju ke lokasi kejadian. Ia melihat ke bawah kaki Adit dengan mata yang terbelalak. Ia lalu menatap orang yang sudah menjatuhkan pot bunga itu. Adit tentu tidak membalasnya. Ia merasa bersalah sekali. Ia tahu, Bu Niken, Guru Biologinya itu pasti sekarang sangat marah padanya.
“Siapa yang sudah menjatuhkan pot bunga itu, Aditya?” tanya Bu Niken, dengan tampang garangnya.
Adit menelan ludahnya dengan berat. “Sa… saya yang sudah menjatuhkan pot bunga ini, Bu,” jawab Adit, jujur dengan terbata-bata.
Bu Niken melipat tangannya di depan dada. “Apakah saya memberi tugas pada anda untuk merusak tumbuhan-tumbuhan yang ada disini, Aditya Rio Putra?” tanya Bu Niken, dengan tatapan matanya yang tajam.
Adit segera menggeleng. Bu Niken menarik napasnya dengan pelan. Ia lalu melihat ke arah Adit yang terus menunduk karena merasa bersalah.
“Kamu ikut saya ke ruang guru sekarang,” ucap Bu Niken, lalu berjalan meninggalkan semua murid-muridnya.
Adit mengangguk dan mengikuti langkah kaki Bu Niken menuju ke ruang guru. Sesampainya di ruang guru, Bu Niken mempersilahkan Adit untuk duduk.
“Kamu tahu kan, saya marah sekali sama kamu.” Bu Niken mulai bicara. “Selama ini saya mengenal kamu sebagai anak yang baik. Tetapi, kenapa sekarang kamu malah mengacau?”
“Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud memecahkan pot bunga itu. Tetapi… sebenarnya… sebenarnya saya… sebenarnya saya…”
Bu Niken memotong ucapan Adit. “Sebenarnya kamu kenapa, Aditya? Setahu Ibu, kamu suka dengan pelajaran Biologi. Yang Ibu tahu juga kamu ingin menjadi dokter. Memangnya kamu kenapa? Tidak suka Biologi lagi?” tanya Bu Niken.
Adit langsung menggeleng kuat. “Saya suka Biologi, Bu. Sangat suka malah. Tetapi, saya kurang suka sama tumbuhan. Mungkin kalau Biologi tidak mempelajari tentang tumbuhan, saya akan semakin cinta sama biologi,” jawab Adit.
“Tidak suka? Apa alasan kamu?” tanya Bu Niken lagi.
“Karena dulu saya…” Adit memutus perkataannya.
Aku harus bilang sama Bu Niken tentang hal itu gak, ya?, tanya Adit dalam hati. Bu Niken dapat melihat kegelisahan Adit itu.
“Kamu malas menanam pohon? Benar begitu?” tanya Bu Niken sekali lagi, mencoba mencari jawaban yang tepat. “Sekolah kita kan sekolah adiwiyata, tidak mungkin kan jika kamu tidak suka menanam pohon. Apa kata orang nanti, Adit?”
Adit kembali menundukkan wajahnya. “Maaf, Bu. Sekali lagi saya minta maaf sama Ibu. Saya sudah mengecewakan Ibu. Saya memang seharusnya dihukum,” kata Adit.
“Ibu akan menghukum kamu, Adit. Kamu harus mengikuti klub lingkungan di sekolah selama satu bulan. Ibu yakin, ini akan membantu kamu supaya suka menanam tumbuhan. Yang jelas, setelah kejadian ini, Ibu tidak ingin mendengar ada yang bilang tidak suka pada tumbuhan atau malas untuk menanam tumbuhan, mengerti?” kata Bu Niken, dengan tegas.
Adit mengangguk. “Baik, Bu.”
“Kalau begitu kamu bisa kembali ke kelas. Jangan lupa untuk mengerjakan PR yang tadi Ibu kasih dan mulai Hari Sabtu Ibu harus sudah melihat kamu di klub tersebut. Mengerti kan, Adit?”
Adit berdiri dari tempat duduknya. Ia lalu mencium tangan Bu Niken dan permisi untuk pamit kembali ke kelas. Selama berada di perjalanan, Adit terus merasa gelisah. Sebenarnya ia tidak malas untuk menanam tumbuhan. Tetapi karena sesuatu. Sesuatu yang bukan sebuah kemalasan.
***
“Nadia, mulai sekarang Aditya akan menjadi anggota baru di klub kita ini. Kamu sebagai ketua ekskul harus lebih memperhatikan dan membantu Adit, ya! Dan jangan lupa, Ibu harap kamu akan menanam pohon di halaman samping bersama Adit. Kamu tidak keberatan, kan?”
Nadia tersenyum pada Bu Niken. “Tidak, Bu. Saya akan berusaha untuk membantu Adit agar ia tidak malas lagi untuk menanam tumbuhan,” jawab Nadia, dengan sopan.
“Bagus, Nadia. Kalau begitu, Ibu tinggal dulu ya. Adit, mulai sekarang kamu harus belajar pada Nadia, ya? Ibu yakin, kamu pasti bisa mengatasinya dengan baik,” kata Bu Niken pada Adit.
Bu Niken meninggalkan seluruh anggota klub lingkungan dengan pekerjaan mereka masing-masing. Nadia memperhatikan Adit dari bawah ke atas. Lalu terbalik, dari atas ke bawah. Adit yang sadar dengan tatapan Nadia itu, tentu merasa risih dan segera menegurnya.
“Kamu lihat apa?” tanya Adit pada Nadia.
Nadia langsung menggeleng. “Tidak, aku tidak lihat apa-apa kok. Ayo, sekarang kita mulai bekerja!” ajak Nadia, dengan ramah.
Adit mencoba untuk duduk jongkok seperti Nadia. Memang, ia dan Nadia bertugas untuk menanam bibit-bibit bunga yang baru. Nadia yang menyadari bahwa Adit tidak juga duduk di sampingnya, langsung menarik Adit untuk tidak berdiri lagi. Dan dengan terpaksa, Adit akhirnya duduk jongkok juga.
“Kamu kenapa? Aku dengar, katanya kamu gak suka nanam pohon, ya? Kamu memang malas atau takut kotor?” tanya Nadia. Ia lalu memberi sebuah bibit pada Adit untuk ditanamnya ke dalam pot. Adit pun mau menerimanya dengan sedikit takut-takut.
Belum sempat Adit mengambilnya, Nadia sudah menarik bibit itu duluan. “Aduh, ada serangga!” teriaknya, sambil mengusir serangga itu agar pergi.
Adit terkejut setelah mendengar perkataan Nadia tadi. Dan ketika Nadia hendak memberikan bibit itu lagi, Adit langsung menolaknya mentah-mentah. “Jangan dekatkan bibit itu padaku! Jika tidak, aku berjanji akan membuangnya sekarang juga,” ucap Adit, dengan wajah yang terlihat ketakutan.
Nadia jadi khawatir pada Adit. “Kamu kenapa? Takut serangga?” tanya Nadia, setelah melihat tanggapan dari Adit yang sangat mengejutkannya.
Adit mendorong pot bunga yang disodorkan Nadia dengan keras sehingga jatuh ke tanah. Ia lalu pergi dari tempat itu sambil mengusap keringat yang mengalir di dahinya. Namun, tentu saja Nadia tidak membiarkannya begitu saja. Nadia kemudian mengajak Adit untuk minum dan duduk bersama.
“Hm…”
“Kamu mau tanya apa?” tanya Adit, memotong Nadia yang ingin bicara.
Nadia menggigit bibirnya. “Hm… jadi benar, kamu itu takut serangga? Berarti, apa yang dibilang sama Bu Niken itu salah dong? Kamu bukannya malas, tetapi takut sama sesuatu yang berhubungan dengan tanaman, yaitu serangga. Benarkan?” tanya Nadia, setelah berhasil memberanikan dirinya.
Adit tersenyum. “Dulu waktu aku masih berumur 5 tahun, aku suka banget main sama tanaman. Aku suka bantu ayah untuk menanam bibit jagung di kebun, aku juga suka bantu ibu untuk menyiram bunga di taman, dan aku juga suka waktu bu guru nyuruh aku untuk meneliti tanaman. Sama kayak kamu sekarang, waktu itu aku ngerasa seneng banget karena bisa dekat sama tanaman, apalagi pohon mangga. Karena aku suka sama mangga,” cerita Adit, sambil membayangkan masa kecilnya dulu.
Nadia mendengarkan setiap ucapan yang keluar dari mulut Adit dengan setia. Ia lalu ikut tersenyum juga setelah Adit selesai bercerita.
“Terus? Kenapa tiba-tiba jadi berubah begini?” tanya Nadia.
Adit menghela napasnya pelan-pelan. “Karena suatu hari, waktu aku lagi ngelihat salah satu bunga milik ibuku, seekor lebah tiba-tiba menusuk hidungku tanpa ampun. Aku tahu kalau lebah itu gak sengaja. Tetapi, entah kenapa tiba-tiba aku merasa kalau tanaman itu jadi begitu berbahaya. Apalagi setelah kejadian itu, aku juga melihat jari telunjuk ibu tertusuk duri Bunga Mawar. Lalu dua hari kemudian, kaki ayah tiba-tiba jadi bengkak setelah naik pohon karena digigit sama semut. Meskipun alasannya konyol, tetapi hatiku gak bisa nolak untuk menganggap kalau tanaman jadi berbahaya sekarang,” jawab Adit, panjang-lebar.
Nadia meletakkan tangannya di bahu Adit. “Kalau gitu jangan nyerah, dong! Masa cuma gara-gara lebah aja kamu jadi gak cinta sama lingkungan lagi, sih?” bujuk Nadia pada Adit.
Adit melirik ke arah tangan Nadia yang menyentuh bahunya. Nadia yang sadar dengan tatapan Adit, langsung menarik tangannya kembali dan menggerutu di dalam hati karena sikap refleksnya ini.
Adit agak sedikit menegang. “Tetapi, meskipun aku gak mau nanam pohon bukan berarti aku gak mau jaga lingkungan, kan? Aku yakin, aku bisa melakukan hal lain untuk menunjukkan kesediaanku untuk menjaga lingkungan. Mungkin caramu ini, tetapi mungkin juga caraku adalah yang lain. Kamu ngerti maksud aku, kan?” jawab Adit, sambil melihat Nadia.
Nadia mengangguk untuk menjawab pertanyaan Adit tadi. Adit lalu berdiri. Ia mohon pamit untuk pergi ke kelas duluan karena waktu untuk kegiatan ekstra ini sudah selesai.
Nadia membereskan segala peralatan untuk berkebun yang mereka pakai tadi. Nadia tiba-tiba menghentikan pekerjaannya. Ia menatap ke arah jalan dimana Adit menghilang. Ia lalu melihat sebuah Bunga Mawar yang berada di depannya. Dan dengan wajah yang yakin, Nadia kembali bekerja tanpa memikirkan Adit lagi.
***
“Ini.”
Adit melihat sebuah masker berwarna putih yang biasa diberikan oleh polisi di jalan ketika udara di luar rumah sedang berdebu atau penuh dengan asap itu dengan sedikit bingung. Ia lalu menatap Nadia dan mencoba mencari jawaban dari kebingungannya.
“Ayo pakai! Masker ini bakalan ngelindungin kamu dari lebah-lebah imut yang mau nusuk hidung kamu. Kamu gak perlu khawatir, masker ini bukan masker biasa yang gratis di jalan-jalan yang diberikan oleh polisi-polisi itu. Ini masker istimewa. Kemarin aku minta mama buat beliin dua supaya kamu gak takut lagi waktu kita nanam bibit hari ini,” cerita Nadia, dengan nada riangnya.
Adit memperhatikan masker itu sebentar. Ia lalu mengambil masker itu dari tangan Nadia dan memakainya. Seperti Adit, Nadia juga memakainya dengan cepat.
Adit mulai rileks dan tidak terlalu takut lagi ketika ia harus menanam bibit-bibit baru atau menyiram bunga seperti apa yang disuruh oleh Nadia. Nadia yang sedang bekerja dengan keras itu sempat melihat Adit sebentar. Nadia jadi merasa tenang setelah melihat Adit yang tampak baik-baik saja.
Tanpa terasa, satu bulan dari masa hukuman Adit sudah selesai. Hari ini, Adit resmi tidak menjadi anggota klub lingkungan di sekolahnya lagi. Bu Niken sudah memperhatikan Adit selama beberapa hari terakhir dan Bu Niken senang karena Adit sudah terlihat suka untuk menanam tanaman.
Adit sedang berjalan menuju ke perpustakaan ketika tanpa sengaja ia mendengar salah seorang siswa sedang berbincang dengan temannya. Adit tanpa sengaja mencuri dengar. Tetapi, telinganya mampu menangkap arah pembicaraan kedua siswa itu.
“Aku udah keluar dari klub itu,” ucap seorang siswa yang menguncir rambutnya ke belakang.
“Kenapa?” tanya seorang siswa lagi, yang menjepit rambutnya dan membiarkan rambutnya tergerai.
“Habisnya sih, aku capek disuruh nanam pohon terus. Aku heran, kenapa ya Nadia betah jadi ketua dari klub itu. Padahal, dia kan nggak dikasih apa-apa karena kerja kerasnya itu. Aku salut sama dia. Seharusnya, aku juga bisa kayak dia biar bumi kita jadi bersih dan gak menangis lagi.”
Siswa yang satunya lagi mengangguk. “Benar. Tapi, kita bisa bantuin Nadia dengan ngelakuin hal lain, kan?”
“Iya sih. Tapi, sekali-kali kita juga perlu bantuin dia. Aku juga pengen punya pohon yang terus tumbuh dan ngelindungi aku seperti aku ngelindungi dia waktu dia masih kecil.”
“Iya. Aku juga mau kayak gitu. Ayo, kita bawa bibit pohon kesukaan kita besok!”
Adit tersenyum setelah mendengar ucapan kedua siswa itu tadi. Memang, mungkin mereka tidak serajin Nadia yang terus menanam satu buah pohon setiap harinya di sekolah. Tetapi, mereka tetap memiliki keinginan untuk menjaga bumi ini. Adit jadi merasa bersalah pada bumi tercintanya ini. Hanya karena hal kecil seperti itu, dia jadi tidak mempedulikannya lagi. Padahal, di bumi inilah selama ini Adit mendapat kebahagiaan.
Adit lalu berlari keluar dari perpustakaan. Di dalam perjalanan, ia merogoh kocek celananya dan tersenyum setelah menemukan apa yang dicarinya. Akhirnya, Adit tiba di halaman samping ke sekolah. Di matanya, bayangan Nadia dengan tangan kotornya sudah tampak dengan jelas. Ia lalu mendekati Nadia dan duduk jongkok menemaninya.
“Sendirian aja, nih?” tanya Adit, sambil tersenyum pada Nadia.
Nadia membalas senyuman Adit juga. “Iya. Yang lain lagi pada sibuk, makanya aku sendiri yang ada disini,” tanya Nadia, sambil melanjutkan pekerjaannya.
“Kenapa setiap hari kamu bisa nanam satu pohon, kecuali Hari Minggu?” tanya Adit lagi, penasaran.
Nadia kembali tersenyum. “Ya bisa aja. Kalau niat, pasti bisa. Tinggal buat jadwal terus disiplin sama jadwal yang ada disana. Gampang, kan?” jawab Nadia, dengan enteng.
Adit manggut-manggut. “Sebenarnya, apa alasan kamu sehingga kamu selalu berusaha untuk menanam pohon atau bunga? Aku yakin, pasti bukan hanya karena kamu adalah ketua klub lingkungan di sekolah kita kan?”
“Kamu tahu gak, awalnya aku juga terpaksa buat masuk klub ini dan selalu menanam pohon setiap harinya. Tapi, setelah hampir tiga bulan aku bertahan, akhirnya aku ngerasa nyaman juga. Aku jadi menyadari satu hal. Mungkin awalnya terpaksa, tapi setelah itu jadi perasaan yang luar biasa. Meskipun aku tahu kalau dunia itu luas, tetapi aku tetap suka melihat bunga atau pohon tumbuh dan melindungiku serta orang-orang yang kusayangi dari cuaca panas yang semakin hari semakin panas,” jelas Nadia, sambil membayangkan kisahnya dulu.
Adit memperhatikan sikap Nadia tanpa henti. Ia lalu tersenyum. Dikeluarkannya masker yang dibawanya tadi dan segera dipakainya dengan cepat. Nadia yang mendengar suara berisik dari arah Adit, langsung melihatnya.
“Kamu mau ngapain?” tanya Nadia, bingung.
Adit sebenarnya tersenyum dan Nadia tahu itu. “Aku mau bantuin kamu buat mengecilkan dunia sedikit. Memang sih, gak banyak. Mungkin cuma sampai di Laboratorium Biologi aja. Gak masalah, kan?” jawab Adit, dengan manis.
“Tapi, katanya kamu gak mau pakai masker lagi? Katanya kamu udah capek buat nanam pohon. Terus, katanya kamu juga gak mau pakai masker karena cewek-cewek gak bisa ngelihat wajah kamu yang tampan itu. Tetapi, kenapa sekarang malah kamu pakai? Kamu gak dihukum sama Bu Niken lagi, kan?” tanya Nadia, belum mengerti dengan sikap Adit tadi.
“Iya, aku sebenarnya malas buat nanam pohon lagi. Aku juga sebenarnya gak suka pakai masker karena wajah tampanku ini jadi gak kelihatan sama cewek-cewek di sekolah. Tapi, aku lagi gak dihukum kok sama Bu Niken.” Adit menghentikan perkataannya. “Cuma, aku rasa aku harus segera berubah karena semua orang juga sudah mulai berubah. Meskipun sulit, tapi aku gak mau ketinggalan. Terus, aku juga gak butuh sama perhatian cewek-cewek yang ngelihat wajahku tanpa masker. Karena, aku lebih tertarik dan ingin menarik perhatian cewek yang suka kalau aku pakai masker ini.”
Nadia menatap Adit dengan mata yang tidak percaya. Ia kemudian tersenyum. Adit pun juga begitu. Dan tanpa membuang banyak waktu, Adit langsung mengambil pot bunga yang dipegang oleh Nadia. Dengan perasaan senang, mereka berdua terus menanam pohon sampai rasanya mereka sudah menghijaukan seluruh dunia dalam waktu yang singkat…